Ternyata Ini Buat China ‘Takut’: Commodity Supercycle
Jakarta, – Supersiklus komoditas akan sangat menguntungkan bagi negara-negara produsen salah satunya adalah Indonesia. Namun bagi importir fenomena ini justru patut diwaspadai.
Commodity supercycle merupakan periode di mana harga-harga komoditas mengalami kenaikan dalam waktu panjang. Biasanya periode ini terjadi setelah krisis. Saat dotcom bubble tahun 2000 setelah itu harga komoditas naik.
Pilihan Redaksi
|
Kemudian pada 2008 pasca krisis keuangan global akibat subprime mortgage harga-harga komoditas ikut terkerek naik. Pemicu kenaikan harga komoditas adalah suku bunga rendah dan kebijakan fiskal ekspansif.
Ketika suku bunga dipatok di level yang rendah maka baka menstimulasi individu maupun korporasi untuk melakukan konsumsi maupun investasi. Komoditas termasuk raw materials di mana seringkali menjadi input bagi kebanyakan aktivitas ekonomi.
Ketika suku bunga rendah, permintaan kredit untuk konsumsi dan investasi naik maka hal ini akan mengerek harga komoditas. Tahun 2021 digadang-gadang bakal jadi tahun boom komoditas lagi.
Tren pelemahan dolar AS di tengah kebijakan makro yang akomodatif membuat harga komoditas beterbangan mulai dari agrikultur, pertambangan, migas hingga hortikultura.
Bagi negara-negara produsen seperti Indonesia dan Australia kenaikan harga komoditas cenderung memberikan dampak positif karena mampu mendongkrak ekspor. Namun bagi negara konsumen seperti China ini bukan kabar bagus.
Dengan populasi lebih dari 1,4 miliar orang, pilar perekonomian China disokong oleh konsumsi dalam satu dekade terakhir setelah sebelumnya berpatok pada investasi. Semakin ekspansif-nya perekonomian China akan semakin mendongkrak harga-harga komoditas.
Mulai dari harga minyak yang naik hampir dua kali lipat, harga batu bara yang naik lebih dari 100% dan masih banyak lagi. Menurut para analis keberlanjutan tren boom komoditas akan sangat dipengaruhi oleh China.
Selain menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, China juga merupakan konsumen utama berbagai komoditas mulai dari energi, tambang dan pertanian.
Permintaan domestik China yang semakin kuat sementara pasokannya tak sebanding membuat kebijakan relaksasi impor ditempuh oleh pihak China. Ini yang terjadi pada kasus batu bara setelah China memboikot produk ini dari Australia.
Ketatnya pasokan baru bara China juga menimbulkan spekulasi di pasar aset sehingga semakin menekan ke atas harga-harga komoditas. Sebagai negara importir komoditas terbesar di dunia tentu saja kenaikan harga menjadi masalah.
Ketika harganya terlalu tinggi sementara yuan terdepresiasi terhadap dolar AS tentu saja ini akan menimbulkan spekulasi di kalangan pelaku pasar. Naiknya harga komoditas jika tidak dibarengi dengan respons peningkatan produksi yang sepadan tentu saja akan menimbulkan inflasi.
China sebagai importir batu bara, minyak dan minyak sawit mentah terbesar di dunia berada dalam masalah. Pasalnya China tak bisa self sufficient dengan kebutuhan tersebut. Alhasil profitabilitas perusahaan di sektor hilir menjadi tergerus jika tak segera dibebankan kepada konsumen.
Bagaimanapun juga bagi negara konsumen seperti China, kenaikan harga komoditas yang tajam memang memberikan downside risk yang besar pula sehingga untuk periode kali ini.
China yang membutuhkan barang dan jasa dari negara lain berpeluang mengalami imported inflation akibat kenaikan berbagai harga komoditas sebagai input perekonomian.
Inflasi yang terlalu tinggi pada akhirnya hanya akan merugikan ekonomi karena menjadi superheat. Risiko inflasi tinggi yang diimpor dari luar karena kenaikan harga komoditas ini yang sangat diwaspadai China.
[Gambas:Video ]
(twg/sef)